Skip ke Konten

Dari Burgundi ke Maulid: Sebuah Refleksi Hidup dan Ikhtiar

Suhartina
11 September 2025 oleh
Dari Burgundi ke Maulid: Sebuah Refleksi Hidup dan Ikhtiar
Admin
| Belum ada komentar

Hari ini ada yang baru di LP2M. Aura kebahagiaan terpancar dari wajah para personelnya. Sayangnya, bukan karena ada kabar gembira bagi mereka para lajang, melainkan karena baju burgundi yang dikenakan. Warna ini sederhana, tetapi memberi kesan mendalam. Dalam psikologi warna, burgundi sering dikaitkan dengan kekuatan, keanggunan, dan kematangan emosional. Tidak heran jika suasana hati seakan ikut berubah lebih positif. Dari sekadar busana, pikiran saya pun beranjak pada sesuatu yang lebih besar: hidup memang selalu butuh kebaruan.

Bulan Maulid menjadi momen paling tepat untuk memperbarui diri. Kita mengenang kelahiran Nabi Muhammad saw., seorang figur yang membawa perubahan dalam peradaban manusia. Menurut teori self-renewal dari John W. Gardner, manusia hanya akan berkembang jika mampu memperbarui diri secara terus-menerus; dalam pengetahuan, sikap, maupun perilaku. Sejalan dengan itu, Al-Ghazali menegaskan bahwa “pembaharuan hati lebih utama daripada perhiasan lahiriah.” Maulid bisa kita maknai sebagai momentum spiritual untuk memperbarui iman dan akhlak, agar kita tidak terjebak dalam rutinitas tanpa makna.

Berbicara tentang burgundi, Maulid, dan bahkan jodoh, saya tiba-tiba teringat seorang senior dari kampung yang kini menjadi dosen matematika. Dari beliau saya belajar bahwa angka tidak sekadar soal hitungan, melainkan cermin keteraturan hidup itu sendiri. Konsep keseimbangan dalam aljabar bisa dimaknai sebagai simbol kehidupan: penjumlahan melatih kita menerima tambahan pengalaman, pengurangan mengajarkan ikhlas kehilangan, perkalian melambangkan manfaat yang berkembang, dan pembagian mengingatkan pentingnya berbagi. Menurut Piaget, matematika tidak hanya melatih logika, tetapi juga membentuk cara kita menyusun pola pikir. Bahkan, Ibnu Khaldun menilai bahwa peradaban hanya akan bertahan jika manusianya menguasai ilmu dan memperbarui pengetahuan mereka. Artinya, belajar menghitung sama dengan belajar mengelola hidup dengan sabar dan sistematis.

Namun, hidup bukan hanya soal hitungan yang bisa diprediksi. Ada bagian yang tetap misteri, seperti soal jodoh. Bahkan senior saya yang dosen matematika itu, yang lihai mengurai integral dan persamaan diferensial, tetap belum mampu menemukan rumus pasti tentang kapan seseorang dipertemukan dengan pasangannya. Dalam perspektif Islam, jodoh masuk dalam ranah takdir, tetapi manusia tetap dituntut untuk berikhtiar. Konsep ini sejalan dengan teori compatibilism dalam filsafat, yang menyatakan bahwa kebebasan manusia dan takdir bisa berjalan seiring: ada ruang usaha, ada pula batas yang ditetapkan. Jodoh bisa dipahami seperti variabel dalam persamaan kompleks, hasil akhirnya sudah ditentukan, tetapi jalan untuk sampai ke sana tetap menuntut usaha. Kita tidak tahu kapan titik temu itu hadir, tetapi keyakinan membuat penantian lebih bermakna.

Dengan begitu, burgundi yang kami kenakan hari ini hanyalah pemantik renungan. Pesan yang lebih penting adalah kebutuhan manusia untuk selalu memperbarui diri. Maulid mengingatkan kita pada pembaruan iman, matematika mengajarkan keseimbangan, dan jodoh meneguhkan makna ikhtiar serta sabar dalam menanti. Semuanya saling berkaitan, mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati lahir bukan dari baju baru, melainkan dari hati yang terus diperbarui oleh iman, ilmu, dan harapan. Mhhh siapa tahu, jika nasib baik berpihak, bahkan senior matematika itu suatu hari bisa menemukan “rumus jodoh”-nya sendiri.

 

di dalam Opini Dosen
Dari Burgundi ke Maulid: Sebuah Refleksi Hidup dan Ikhtiar
Admin 11 September 2025
Share post ini
Label
Arsip
Masuk untuk meninggalkan komentar