Beberapa waktu lalu, media sosial kembali gaduh oleh berita tentang dana reses DPR yang mencapai lebih dari tujuh ratus juta rupiah per anggota, dan bisa diterima sampai lima kali dalam setahun. Belum hilang keterkejutan publik, muncul lagi kabar tentang dana pensiun pejabat dewan yang nilainya jauh di atas rata-rata gaji rakyat pekerja. Rasanya seperti melihat dua dunia berjalan berdampingan di satu tanah air: yang satu hidup berlimpah, yang lain bertahan dengan sisa tenaga.
Saya membaca berita itu dengan getir. Bukan karena iri, tapi karena kesadaran sederhana. Di negeri yang katanya religius ini, jurang antara yang berkuasa dan yang dikuasai terasa semakin lebar. Ironinya, ketika rakyat mulai bertanya-tanya tentang ketimpangan itu, jawaban yang muncul justru kalimat yang menenangkan sekaligus meninabobokan “mungkin memang sudah takdir Tuhan.”
Saya tumbuh dengan ajaran untuk selalu bersyukur, dan saya masih meyakininya. Tapi saya juga belajar bahwa bersyukur tidak sama dengan diam terhadap ketidakadilan. Kalimat “ini sudah takdir” sering kali terdengar religius, padahal bisa juga menjadi bentuk keputusasaan yang diajarkan secara sistematis agar rakyat tidak banyak bertanya. Sebab ketika rakyat berhenti bertanya, kekuasaan bisa berjalan tanpa gangguan.
Ada ironi yang sulit diabaikan. Pejabat bisa mengantongi ratusan juta rupiah dari dana reses, sementara guru honorer masih menunggu gaji yang bahkan tidak cukup untuk biaya hidup satu bulan. Gaji dosen dan tenaga kependidikan bahkan belum mampu menjamin masa depan pendidikan anak-anak mereka. Petani kehilangan hasil panen karena harga pupuk naik, sedangkan di gedung parlemen, pembahasan tunjangan baru terus berjalan dengan lancar. Lalu rakyat diberi nasihat untuk sabar, untuk ikhlas, untuk percaya bahwa semua sudah diatur Tuhan. Padahal, yang mengatur angka-angka itu bukan Tuhan, tapi manusia. Manusia yang duduk di kursi empuk hasil suara rakyatnya sendiri.
Saya tidak menolak konsep takdir. Tapi saya menolak ketika takdir dijadikan tameng untuk menutupi keserakahan. Tuhan tidak pernah menulis kemiskinan dalam kitab suci manusia, yang menulisnya adalah kebijakan yang timpang, sistem yang tidak berpihak, dan kekuasaan yang lebih sibuk memperkaya diri daripada melayani.
Lebih menyedihkan lagi, agama yang seharusnya menjadi sumber keberanian moral justru sering dipakai untuk menenangkan mereka yang tertindas. Kalimat seperti “tidak apa-apa miskin asalkan masuk surga” terus diulang seolah menjadi dalil pembenaran hidup sengsara. Padahal, kemiskinan bukan tiket surga, dan kekayaan bukan dosa. Yang salah adalah ketika kekayaan didapat dengan menindas, dan kemiskinan dipertahankan dengan dalih kesucian.
Saya percaya Tuhan tidak menciptakan kemiskinan. Ia menciptakan manusia dengan akal dan kehendak untuk memperbaiki keadaan. Dalam Al-Qur’an bahkan ditegaskan: “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” Ayat itu bukan ajakan untuk pasrah, tapi seruan untuk bangkit. Sayangnya, sebagian dari kita justru lebih sibuk menunggu keajaiban daripada mengubah kebijakan.
Sementara itu, media dan hiburan bekerja seperti candu. Gosip selebritas lebih banyak dibicarakan ketimbang kabar tentang petani yang kehilangan lahan atau buruh yang digusur. Artis dibayar miliaran, guru dan dosen digaji seadanya. Masyarakat dibuat tertawa agar lupa, dibuat terhibur agar tidak peduli. Di tengah semua itu, wacana publik tentang keadilan sosial makin tenggelam.
Saya tidak sedang menulis dengan kemarahan, meski di dalamnya ada banyak kegelisahan. Ini adalah semacam perenungan tentang betapa mudahnya kita menyalahkan Tuhan untuk sesuatu yang sebenarnya diciptakan oleh manusia. Betapa seringnya kita memuja sistem yang menindas, lalu berdoa agar Tuhan mengubahnya tanpa kita mau bergerak.
Kemiskinan bukanlah takdir ilahi yang harus diterima, tapi hasil dari keputusan-keputusan manusia yang lebih memilih kepentingan daripada keadilan. Dan selama kita masih percaya bahwa kemiskinan adalah bagian dari rencana Tuhan, maka para penguasa akan terus merasa aman menimbun kekayaan tanpa rasa bersalah.
Tuhan Maha Kaya, bukan Maha Miskin. Ia tidak menciptakan kemiskinan untuk diuji, melainkan memberi kita akal untuk menolak ketidakadilan. Karena pada akhirnya, yang mengubah nasib bangsa ini bukan doa yang diulang tanpa kesadaran, melainkan keberanian untuk berpikir, berbicara, dan bertindak.
Benarkah Tuhan yang Menjadikan Kita Miskin, atau Sistem yang Tidak Adil?