Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya. Dalam konteks keragaman agama yang ada di Indonesia, salah satu aspek aktual yang akan dibahas adalah harmonisasi kehidupan beragama di Indonesia.
Kajian kerukunan umat beragama menjadi penting. Sebab, belakangan ini sentimen keagamaan menyebar, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain, seperti di kalangan Muslim dan Yahudi di Palestina-Israel, di kalangan Hindu dan Muslim di India; dan permasalahan lainnya.
Perlu dicatat bahwa konflik antar agama muncul tidak selalu karena sentimen keagamaan, tetapi seringkali dipicu oleh kepentingan politik-ekonomi dimana agama sering dijadikan sebagai “justifikasi” untuk menyulut konflik, sehingga seolah-olah merupakan konflik agama.
Di Indonesia, pemicu kerusuhan terkait isu sentimen keagamaan cukup tinggi, seperti kasus Poso, Maluku, dan di tempat lain. Kita tidak bisa menutup mata, meskipun faktor sosial, politik, dan ekonomi cukup berwarna, agama tidak dapat disangkal perannya dalam konflik sosial. Hal ini terutama terkait dengan sikap yang kurang toleran terhadap pemeluk agama lain, meskipun dalam ajaran agama dianjurkan untuk bersikap toleran. Dalam menyiarkan ajarannya, pemeluk agama seringkali berusaha meyakinkan
Konteks Kehidupan Beragama
Kerukunan umat beragama di Indonesia secara umum sudah relatif baik, ditandai dengan terpeliharanya budaya kerukunan dan kedamaian antar umat beragama di beberapa daerah. Meskipun dalam beberapa waktu lalu telah terjadi konflik sosial horizontal seperti di Poso dan Ambon, konflik tersebut tidak semata-mata dilatarbelakangi oleh faktor agama. Konflik sosial tersebut disebabkan oleh faktor non-teologis seperti faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya. Agama menjadi faktor pembenaran sehingga konflik tampak bernuansa religi.
Gus Yahya, Ketua PBNU selaku penggagas R20, menyatakan bahwa negara Indonesia bisa menjadi semacam potret ideal bagi kerukunan umat beragama di seluruh dunia. Potret kerukunan ini antara lain terlihat dari pelaksanaan ritual keagamaan dan pembangunan tempat ibadah. Indonesia layak dijadikan acuan dalam rangka mengkaji kehidupan beragama masyarakat global.
Pencapaian kerukunan umat beragama yang telah dicapai saat ini tentu saja tidak bisa dikatakan final. Hal ini dikarenakan dalam kerukunan ini masih terdapat potensi disharmoni dan disrupsi dari perkembangan global yang berimplikasi pada kehidupan umat beragama di Indonesia.
Tentunya harapan utama dari acara R20 di Bali ini agar kerukunan tidak hanya terwujud sebagai harmoni yang ditata atau dipaksakan untuk akur (pseudo-tolerance). Kerukunan antar umat beragama hanya ada pada tataran pemuka agama dan ulama, sedangkan pada tataran akar rumput kerukunan yang sejati dan murni belum tercipta.
Dalam konteks ini, diperlukan strategi kerukunan yang dapat menjembatani terciptanya kerukunan yang sejati. Kerukunan yang perlu dikembangkan adalah kerukunan sejati, yaitu kerukunan yang bertumpu pada sikap ikhlas untuk memahami, menghargai, dan saling membantu dalam berdialog budaya dan kehidupan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, diperlukan strategi yang komprehensif dan simultan, termasuk upaya internal umat beragama dan dukungan eksternal dari pemerintah.
Secara umum, strategi kerukunan umat beragama di masyarakat global ke depan meliputi dua langkah utama. Pertama, proses penyadaran oleh para pemuka agama terhadap pemeluknya masing-masing untuk mengembangkan budaya damai dengan menekankan pesan perdamaian dari agama.
Kedua, dialog antar umat beragama dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu dialog budaya dalam berbagai aspeknya, termasuk dialog teologis. Namun dialog ini harus bertumpu pada otentisitas, ketulusan dan keterbukaan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dan membangun kerjasama antar umat beragama di dunia.
Dalam konteks tantangan harmonisasi kehidupan beragama, meminjam konsep Azyumardi Azra, dialog antaragama untuk menciptakan kerukunan umat beragama yang aktual dan progresif merupakan tantangan yang mendesak. Perkembangan dan perubahan dramatis di dunia global dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan gangguan serius terhadap kerukunan umat beragama.
Menurut Azyumardi Azra, tindakan kekerasan antarumat beragama dapat dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, masih kuatnya rasa saling curiga antarumat beragama. Kedua, tidak ada dialog yang bisa diterapkan antara pemimpin agama tingkat menengah dan bawah. Ketiga, ketidakefektifan kekuasaan negara dalam mengatasi kekerasan atas nama agama.
Berdasarkan konteks tersebut, sejumlah peluang dan tantangan dapat dilihat dalam meningkatkan harmonisasi kehidupan beragama. Kehidupan beragama yang dinamis merupakan faktor dasar yang sangat menentukan bagi terwujudnya stabilitas nasional, persatuan dan kesatuan, ketenteraman dan ketentraman hidup. Kehidupan beragama yang dinamis dengan terciptanya kerukunan umat beragama tentunya membawa manfaat yang sangat besar. Bagi umat beragama, terwujudnya kerukunan umat beragama memiliki manfaat, paling tidak menjamin dan menghormati keyakinan dan identitasnya oleh pihak lain, dan sebesar-besarnya kesempatan untuk membuktikan kebesaran agamanya masing-masing dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam pandangan pemerintah RI, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menegaskan bahwa pembangunan toleransi dan kerukunan antarumat beragama merupakan kerja bersama para tokoh agama, menteri agama, masyarakat, dan juga aparat Kementerian Agama dari waktu ke waktu. Pengalaman hidup beragama di Indonesia membuktikan bahwa toleransi dan kerukunan tidak tercipta hanya dari satu pihak, sementara pihak lain memegang haknya sendiri. Kementerian Agama RI juga sedang mengembangkan moderasi beragama, agar toleransi dan kerukunan yang ada semakin mengakar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lebih lanjut, Gus Men menegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan Pancasila, tidak ada diktator mayoritas atau tirani minoritas. Dalam hal ini seluruh umat beragama dituntut untuk saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing, dimana hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain.
Kerukunan hidup beragama juga menjadi kata kunci dalam upaya mewujudkan masyarakat yang maju, sejahtera, mandiri, dan berdaya saing tinggi. Karena tanpa kerukunan, bangsa Indonesia justru akan semakin terpuruk dalam bayang-bayang konflik sosial horizontal yang berkepanjangan.
Peran PTKI
Perkembangan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) secara kuantitatif dewasa ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Perkembangan PTKI dalam 17 tahun terakhir yang semula 50 PTKIN dan 461 PTKIS (Ditpertais Depag RI, 2005), telah berkembang pesat menjadi 59 PTKIN dan 744 PTKIS (Diktis, 2022).
Keberadaan Perguruan Tinggi termasuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKI) memiliki kedudukan dan fungsi yang penting dalam pembangunan suatu masyarakat. Proses perubahan sosial dalam masyarakat yang begitu cepat, menuntut agar kedudukan dan fungsi perguruan tinggi benar-benar diwujudkan dalam peran yang nyata.
Secara umum, peran Perguruan Tinggi diharapkan terkandung dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu: dharma pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan dharma pendidikan, perguruan tinggi diharapkan dapat berperan mencerdaskan masyarakat dan mentransmisikan budaya. Dengan dharma penelitian, perguruan tinggi diharapkan mampu membuat penemuan-penemuan ilmiah baru dan inovasi budaya. Dengan adanya dharma pengabdian kepada masyarakat, perguruan tinggi diharapkan dapat memberikan pengabdian kepada masyarakat untuk turut serta mempercepat proses peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat. Melalui dharma pengabdian masyarakat ini, universitas juga akan mendapatkan feedback dari masyarakat tentang tingkat kemajuan dan relevansi ilmu yang dikembangkan universitas.
Kajian Islam yang dikembangkan di PTKI tidak hanya mendukung model keagamaan yang inklusif di kalangan umat Islam Indonesia, lebih dari itu juga menciptakan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Pengembangan teologi inklusif dipelopori oleh Harun Nasution dengan membuka mata kuliah teologi Islam dengan pola non mazhab dan semangat toleran. Konsep ini selanjutnya dikembangkan oleh Nurcholis Madjid dalam berbagai tulisan dan ceramahnya. Konsep kerukunan antarumat beragama, sebagaimana disebutkan, dipelopori oleh A. Mukti Ali, baik selama menjabat sebagai Menteri Agama maupun saat mengajar di IAIN Yogyakarta.
Sementara itu, kontribusi umat Islam Indonesia terhadap wacana Islamisasi ilmu pengetahuan juga sangat progresif. Kuntowijoyo dengan konsep ilmu sosial profetik merupakan gagasan penting dalam proses pencarian konsep islamisasi ilmu sesuai dengan proses perkembangan sejarah dan budaya. Di bidang lain, munculnya para pemikir Islam seperti Quraish Shihab, Azyumardi Azra, Yahya Cholil Staquf, antara lain menunjukkan keterlibatan umat Islam Indonesia dengan wacana Islam, terutama dengan wacana global dunia.
Secara fundamental, Gus Dur juga telah mengarusutamakan konsep “Pribumi Islam” yang mencoba menginisiasi pemahaman yang mempertimbangkan kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendiri. Gagasan Pribumi Islam merupakan jawaban atas permasalahan yang dihadapi umat Islam dari masa lalu, yaitu bagaimana mendamaikan budaya dengan norma.
Menurut Gus Dur, tumpang tindih antara agama dan budaya akan terus terjadi sebagai proses yang akan memperkaya kehidupan. Konsep ini, menurut Gus Dur, memposisikan Islam sebagai ajaran normatif yang bersumber dari Tuhan yang diakomodasi ke dalam budaya yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing.
Beberapa cendekiawan Muslim menyebutkan, tidak hanya memiliki hubungan dengan PTKI, kebanyakan dari mereka adalah alumni PTKI dan pesantren di Indonesia. PTKI sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam berstatus negara jelas sangat strategis untuk turut serta mewujudkan optimisme tersebut. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kualitas IAIN akan menentukan pola perkembangan Islam Indonesia di masa depan.
Mewujudkan Islam Indonesia yang ramah dan damai, alumni PTKI tidak hanya harus memiliki pengetahuan dasar di bidang agama agar dapat memenuhi harapan sosial. Lebih dari itu, mereka juga harus memiliki kualifikasi sebagai insan akademis. Di sini lulusan PTKI dituntut memiliki wawasan teoritis dan keterampilan yang dibutuhkan di era globalisasi.
Jaringan kelembagaan PTKI memiliki kekuatan untuk membangun kerukunan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Kekuatan ini diperkuat dengan jaringan alumni PTKI yang selama ini berkiprah di berbagai bidang khususnya bidang sosial keagamaan.
Dengan konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi, PTKI telah memberikan konsep dan tindakan nyata dalam membina kehidupan beragama di Indonesia. Mahasiswa PTKI yang sebagian besar berasal dari kalangan menengah ke bawah semakin membuktikan bahwa jaringan PTKI tidak hanya bekerja di level “elit” tetapi juga menyentuh level “akar rumput” yang membutuhkan pencerahan dan pemahaman keagamaan yang terbuka dan toleran.
Penutup
Ada beberapa argumentasi pokok gelaran R20 yang menyoroti signifikansi agama dan kehidupan beragama masyarakat global. Pertama, dalam kondisi kerukunan antar umat beragama saat ini, masih terdapat potensi disharmoni akibat perkembangan global dan pola interaksi antar umat beragama yang cenderung eksklusif. Kedua, terjadinya konflik sosial horizontal di berbagai negara, menuntut perhatian semua pihak, termasuk PTKI, untuk memberikan solusi guna mengantisipasi munculnya konflik sosial baru bagi peradaban dunia.
Perkembangan ekstremisme dan fundamentalisme di kalangan umat beragama memberikan peluang bagi para pemimpin dunia dan seluruh komponen bangsa lainnya untuk membangun kehidupan beragama yang harmonis. Kerukunan antar umat beragama sangat berpengaruh dalam kehidupan bernegara untuk menciptakan kerukunan dalam masyarakat global.
PTKI yang saat ini berjumlah lebih dari 800 institusi dan tersebar di seluruh tanah air, memiliki peran yang sangat signifikan dalam harmonisasi kehidupan beragama di Indonesia maupun dunia global. Peran tersebut dapat dilihat pada beberapa aspek. Pertama, visi PTKI dan Kementerian Agama yang mendorong terciptanya toleransi dalam kehidupan beragama, serta kehidupan yang harmonis antar pemeluk agama yang berbeda.
Kedua, alumni PTKI menjadi katalisator dalam pemahaman Islam yang inklusif di tengah-tengah masyarakat. Pemahaman Islam yang inklusif, ramah, toleran dan cinta damai sangat dibutuhkan dalam membangun tatanan kehidupan beragama di Indonesia. Ketiga, kontribusi kelembagaan PTKI khususnya dalam penelitian dan pengabdian masyarakat terbukti aktif menawarkan konsep dan tindakan dalam mengantisipasi dan menangani konflik sosial antar umat beragama.
Muhammad Haramain (Dosen IAIN Parepare)