Skip ke Konten

Redenominasi Rupiah: Menghilangkan Mudarat atau Mengguncang Persepsi Nilai?

Prof. Dr. Hannani, M.Ag. (Rektor IAIN Parepare)
14 November 2025 oleh
Redenominasi Rupiah: Menghilangkan Mudarat atau Mengguncang Persepsi Nilai?
Admin
| Belum ada komentar

Diskusi di kelas Qawā‘id Fiqhiyyah Iqtishādiyyah beberapa waktu lalu memantik pertanyaan menarik dari mahasiswa: "apakah kebijakan ekonomi modern seperti redenominasi rupiah dapat dianalisis menggunakan kaidah fikih klasik, khususnya al-Ḍarar Yuzāl?". Pertanyaan sederhana itu membuka ruang refleksi yang lebih dalam. Di tengah derasnya wacana ekonomi global, mahasiswa melihat adanya irisan kuat antara isu moneter kontemporer dan prinsip syariah yang menekankan penghilangan mudarat dalam setiap kebijakan publik.

Dari ruang kelas itulah gagasan opini ini berangkat. Para mahasiswa menyoroti bahwa penghapusan tiga nol pada rupiah bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga persoalan persepsi, keadilan, dan dampak sosial. Kaidah al-Ḍarar Yuzāl mengingatkan bahwa kebijakan publik harus menghilangkan mudarat, tidak memindahkan mudarat, apalagi menciptakan mudarat baru. Maka, pertanyaan kritis muncul: "Apakah redenominasi benar-benar akan memperbaiki keadaan, atau justru mengguncang persepsi nilai dan menimbulkan kebingungan di masyarakat?".

Kebijakan redenominasi rupiah kembali mengemuka sebagai salah satu instrumen penyederhanaan sistem moneter Indonesia. Pemerintah berargumentasi bahwa penghapusan tiga nol bukan sekadar kosmetik angka, tetapi strategi memperbaiki kualitas transaksi, efisiensi akuntansi, hingga penguatan citra rupiah di mata publik dan internasional. Namun, pertanyaan krusial muncul: "Apakah redenominasi benar-benar menghilangkan mudarat ekonomi, atau justru berpotensi mengguncang persepsi nilai di tengah masyarakat?".

Dalam teori ekonomi, Irving Fisher memperkenalkan Money Illusion Theory, sebuah gagasan bahwa masyarakat seringkali terpaku pada nilai nominal dibandingkan nilai riil. Ketika angka berubah, persepsi ikut berubah, meskipun daya intrinsik uang tetap sama. Inilah titik rawan yang perlu dicermati: "Apakah masyarakat akan menerima rupiah “baru” sebagaimana adanya, atau justru memaknainya sebagai penurunan nilai yang memicu kepanikan harga?".

Di sinilah relevansi kaidah fikih muamalah semakin jelas: “al-Ḍarar Yuzāl” segala mudarat harus dihilangkan. Redenominasi bisa dilihat sebagai upaya syar‘i untuk mengatasi mudarat berupa angka nominal yang panjang, inefisiensi transaksi, dan distorsi persepsi terhadap kekuatan mata uang. Namun, syariah memberi pesan lanjutan: "mudarat tidak boleh dihilangkan dengan mudarat lain yang sama atau lebih besar".

Jika redenominasi tidak dikelola dengan cermat, risiko psikologis masyarakat menjadi nyata. Pedagang dapat membulatkan harga secara sepihak, UMKM terbebani biaya adaptasi, dan kelompok rentan kesulitan memahami sistem harga baru. Dalam konteks ini, tujuan “menghilangkan mudarat” justru berpotensi menghadirkan mudarat baru yang lebih kompleks.

 

Belajar dari Turki: Ketika Redenominasi Menjadi Lompatan Stabilitas

Salah satu contoh negara yang cukup berhasil menerapkan redenominasi adalah Turki pada tahun 2005. Setelah mengalami inflasi kronis selama dekade 1990-an, nilai lira membengkak secara ekstrem: satu dolar pernah setara dengan 1,6 juta lira. Pemerintah Turki menghadapi kondisi serupa Indonesia: nominal yang terlalu panjang, pembukuan yang tidak efisien, serta menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap mata uang.

Dalam kondisi ekonomi yang mulai stabil, dengan pertumbuhan ekonomi meningkat dan inflasi menurun Turki menghapus enam nol dari lira. Kesuksesan ini terjadi karena:

1.  Stabilitas makro yang dipulihkan sebelum transisi.

Pemerintah Turki memastikan inflasi rendah dan perbankan stabil dulu. Tanpa prasyarat ini, redenominasi justru dapat memperburuk inflasi dan menimbulkan kepanikan. Pelajaran penting bagi Indonesia: keberhasilan bukan ditentukan oleh keberanian mengambil keputusan, tetapi oleh kesiapan fondasi ekonomi.

2.  Sosialisasi publik yang masif, sistematis, dan panjang.

Turki menyiarkan edukasi melalui media nasional, masjid, universitas, hingga supermarket. Selama dua tahun, masyarakat bertransaksi menggunakan uang lama dan uang baru secara bersamaan sehingga money illusion dapat ditekan. Hasilnya, masyarakat tidak mengalami gejolak persepsi.

3.  Penguatan citra lira secara internasional.

Setelah redenominasi, lira menjadi lebih diterima dalam transaksi global. Turki memperoleh kepercayaan investor dan efisiensi besar dalam sistem pembayaran negara.

Dampak positifnya tidak kecil, stabilitas harga meningkat, biaya akuntansi menurun, efisiensi transaksi membaik, dan yang terpenting, kepercayaan publik terhadap pemerintah dan mata uang meningkat signifikan.


Solusi….. Menyederhanakan Nilai Tanpa Menyederhanakan Pemikiran

Agar redenominasi benar-benar sejalan dengan prinsip al-Ḍarar Yuzāl dan tidak berujung pada mudarat baru, ada beberapa langkah strategis:

1. Sosialisasi Publik Besar-besaran dan Bertahap

Sosialisasi redenominasi harus melampaui sekadar pengenalan uang baru; ia harus membentuk cara pandang masyarakat terhadap nilai agar tidak terjebak dalam money illusion. Kunci keberhasilan berada pada keterlibatan ekosistem sosial yang luas: kampus dengan narasi ilmiahnya, pesantren dengan otoritas moralnya, asosiasi pedagang dengan pengaruh pasar, serta UMKM sebagai simpul ekonomi rakyat. Dengan sosialisasi bertahap selama beberapa tahun sebagaimana dilakukan Turki masyarakat memiliki ruang adaptasi yang cukup untuk memahami nilai riil di balik perubahan nominal. Pendekatan bertahap, inklusif, dan lintas lembaga ini memastikan bahwa transisi berjalan tanpa guncangan psikologis dan bahwa kebijakan benar-benar menghilangkan mudarat, bukan menciptakannya.

2. Perlindungan Harga untuk Menekan Inflasi Psikologis

Inflasi psikologis adalah musuh utama redenominasi karena perubahan angka sering kali memicu kenaikan harga irasional dari para pedagang. Pemerintah harus memperkuat pengawasan harga melalui zona kontrol di pasar, mekanisme pelaporan berbasis aplikasi, serta papan konversi harga di ruang publik untuk memastikan konsumen memegang informasi yang benar. Transparansi ini bukan hanya fungsi teknis, tetapi juga fungsi ketenangan publik: ketika masyarakat melihat harga dikendalikan dan diawasi, keresahan mereda dan spekulasi dapat ditekan. Perlindungan harga yang kuat adalah bentuk nyata dari penerapan kaidah al-Ḍarar Yuzāl, yaitu mencegah munculnya mudarat baru akibat kekacauan persepsi nilai.

3. Pendampingan UMKM agar Tidak Terbebani Biaya Transisi

UMKM adalah kelompok paling terdampak dalam perubahan sistem harga karena mereka harus menyesuaikan label, mesin kasir, hingga pembukuan. Tanpa dukungan, beban ini dapat berubah menjadi mudarat yang mengganggu stabilitas ekonomi rakyat. Pemerintah perlu menyediakan template label otomatis, aplikasi konversi harga sederhana, serta subsidi perangkat kasir digital agar UMKM dapat beradaptasi tanpa tekanan biaya. Pendampingan yang melibatkan kampus, dinas UMKM, dan komunitas lokal akan memperkuat rasa percaya diri pelaku usaha dan memastikan mereka tidak menjadi titik lemah yang memicu kekacauan harga. Ketika UMKM terlindungi, seluruh rantai ekonomi akan bergerak dengan stabil dan penuh harapan.

4. Penguatan Infrastruktur Digital Nasional

Dominasi transaksi digital dapat menjadi penyangga psikologis masyarakat selama masa redenominasi karena angka nominal tidak lagi dihadapi secara langsung, melainkan melalui sistem otomatis seperti QRIS, mobile banking, dan platform e-commerce. Dengan digitalisasi, risiko money illusion menurun drastis karena konversi harga terjadi secara otomatis dan akurat. Untuk itu, jaringan internet harus diperluas, adopsi QRIS dipercepat, dan aplikasi akuntansi digital dipermudah bagi UMKM. Infrastruktur digital bukan sekadar alat teknis, tetapi fondasi mental yang membuat masyarakat lebih siap, tenang, dan percaya diri menghadapi perubahan nilai rupiah.

5. Pengawalan Syariah dan Etika Ekonomi

Redenominasi membutuhkan pengawalan moral agar tidak melahirkan praktik gharar, penipuan harga, atau eksploitasi konsumen. Keterlibatan ulama, akademisi fikih muamalah, dan lembaga keuangan syariah penting untuk memastikan kebijakan berjalan sejalan dengan maqāsid al-syarī‘ah menjaga keadilan, mencegah mudarat, dan melindungi kelompok lemah. Fatwa, pedoman etik, dan edukasi moral kepada pelaku usaha perlu disusun agar transisi nilai berlangsung transparan dan berintegritas. Dengan demikian, kebijakan tidak hanya benar secara administratif dan ekonomis, tetapi juga sah secara etis dan spiritual, menjadikannya ikhtiar bersama menuju kemaslahatan umum.

Menutup Nol, Membuka Kesadaran

Redenominasi bukan sekadar penghapusan tiga nol. Ia adalah ujian bagi kedewasaan finansial masyarakat, disiplin pemerintah, serta kemampuan negara mengelola persepsi publik. Diskusi kecil di ruang kuliah membuktikan bahwa mahasiswa kita telah mampu mengaitkan isu kontemporer dengan prinsip fikih klasik. Sebuah tanda bahwa ilmu syariah tetap relevan dalam dinamika ekonomi modern.

Pada akhirnya, bangsa ini harus menjawab satu pertanyaan mendasar:

Apakah redenominasi benar-benar menghilangkan mudarat, atau hanya memindahkannya ke tempat lain?

Jawaban jujur terhadap pertanyaan itu akan menentukan masa depan rupiah dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap negara.

 

Redenominasi Rupiah: Menghilangkan Mudarat atau Mengguncang Persepsi Nilai?
Admin 14 November 2025
Share post ini
Arsip
Masuk untuk meninggalkan komentar