Di tengah derasnya arus modernitas dan keretakan nilai, kita patut bertanya ulang: ke mana arah pendidikan Islam hendak dibawa? Jika kurikulum adalah cetak biru masa depan, maka ia bukan hanya daftar mata pelajaran atau dokumen administratif. Kurikulum adalah cerminan dari cita-cita bersama tentang manusia ideal dan masyarakat yang ingin kita bangun.
Di lingkungan pesantren, pertanyaan ini menjadi sangat relevan. Apakah pesantren hanya akan menjadi tempat penghafalan kitab fikih dan tafsir? Ataukah ia bisa tampil sebagai ruang pembentukan peradaban baru yang berpijak pada nilai cinta, kasih sayang, dan kepedulian ekologis?
Sayangnya, dalam banyak praktik pendidikan saat ini, kita melihat kurikulum masih lebih mendorong konsentrasi daripada kontemplasi. Terlalu banyak target, hafalan, dan perlombaan, tetapi kurang ruang untuk merenung. Anak-anak belajar untuk menjawab soal, bukan menjawab hidup. Di sinilah pesantren justru punya peluang besar untuk menunjukkan arah baru. Pesantren bukan sekadar alternatif, melainkan fondasi dari sistem pendidikan Islam yang lebih utuh, yang mampu menyentuh akal, jiwa, dan laku hidup.
Islam sendiri sejatinya adalah agama cinta. Keseluruhan ajaran dalam Al-Qur’an terangkum dalam kalimat pembuka yang penuh makna: Bismillahirrahmanirrahim. Dua nama Tuhan di dalamnya, Ar-Rahman dan Ar-Rahim, menunjukkan bahwa cinta, kasih, dan kelembutan adalah inti dari ajaran Islam. Jika ada yang mengajarkan Islam dengan kemarahan dan kebencian, maka kita perlu kembali bertanya: apakah ini jalan yang benar?
Kurikulum Islam yang sejati mestinya tidak melahirkan kecemasan, melainkan ketenangan. Ia tidak menumbuhkan kebencian, melainkan kasih sayang. Kurikulum berbasis cinta mengajarkan empati, penghargaan terhadap sesama, serta kepedulian terhadap alam. Di dalamnya, santri tidak hanya mempelajari teks, tapi juga membaca realitas. Mereka diajak melihat pohon, sungai, dan tanah sebagai ayat-ayat Tuhan yang hidup. Mencintai bumi bukanlah tren sesaat, tetapi bagian dari keimanan.
Kita sering kali terpukau oleh sekolah-sekolah modern dengan gedung tinggi dan fasilitas canggih. Namun pendidikan yang bermakna tidak selalu lahir dari kemewahan. Seringkali justru pesantren yang sederhana mampu menawarkan bentuk pendidikan yang lebih dalam dan menyeluruh.
Di pesantren, santri belajar hidup bersama, saling menghormati, melayani guru, mengelola waktu, dan membentuk kebiasaan reflektif. Pendidikan bukan hanya soal materi pelajaran, tapi tentang menanamkan akhlak, spiritualitas, dan kesadaran hidup. Ilmu tidak hanya diajarkan, tetapi dihidupi. Akhlak tidak sekadar dibicarakan, tapi dicontohkan. Hidup tidak dijalani begitu saja, tetapi dimaknai dengan penuh kesadaran.
Dalam era yang menuntut kecepatan, pesantren mengajarkan pentingnya keheningan. Di tengah hiruk-pikuk digital dan kebisingan media, ruang untuk hening menjadi kebutuhan yang langka sekaligus mewah. Di pesantren, santri diajak merenung, menyendiri, memahami diri dan Tuhan. Kontemplasi inilah yang membentuk kedalaman jiwa, ketajaman nalar, dan keteguhan hati. Tanpa cinta, kontemplasi bisa berakhir dalam pesimisme. Tetapi jika disertai cinta, ia menjadi cahaya yang menuntun manusia melewati gelapnya zaman.
Kini saatnya pesantren tampil sebagai pionir kurikulum cinta. Bukan cinta dalam arti sentimental, tetapi cinta yang membentuk karakter dan kepedulian. Cinta yang menumbuhkan semangat keadilan, empati sosial, dan kesadaran ekologis. Pendidikan bukan hanya tentang mencetak lulusan, tetapi menumbuhkan manusia. Jika kurikulum adalah jalan, maka biarlah jalan itu diterangi oleh cahaya cinta, bukan dibayangi ketakutan.
Pendidikan Islam tidak boleh kehilangan jiwanya. Percayalah, pendidikan tanpa cinta hanyalah proyek kosong. Namun, pendidikan yang berakar pada cinta, akan menjadi gerakan perubahan yang hakiki—yang tidak hanya menyalakan akal, tapi juga menghangatkan jiwa.
Dari Pesantren untuk Dunia: Melawan Krisis Pendidikan dengan Cinta